Hukum Pergaulan Laki-Laki Dengan Perempuan
Kesulitan
kita – sebagaimana yang sering saya kemukakan – ialah bahwa dalam
memandang berbagai persoalan agama, umumnya masyarakat berada dalam
kondisi ifrath (berlebihan) dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali
kita temukan sikap tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.
Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling bertentangan dan menzhalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan wanita Barat “sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta” sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi, sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit, dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari sinilah lahir “solidaritas” baru yang lebih dipopulerkan dengan istilah “solidaritas lubang biawak.”
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama, pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat, terutama jika semua ikatan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terlepas.
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap alam semesta, kehidupan, Tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui tatanan suatu masyarakat lain.
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.
Bagaimanapun, pandangan-pandangan di atas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur’anul Karim dan petunjuk Nabi SAW serta sikap dan pandangan para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.
Ingin saya katakan di sini bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan dalam “Kamus Islam.” Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqa’ (perjumpaan), muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan) laki-laki dengan perempuan.
Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya, atau lainnya.
Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi Muhammad SAW, petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin.
Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah SAW, kaum wanita biasa menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jum’at. Beliau SAW menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris) belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum mengenal celana.
Pada zaman Rasulullah SAW (jarak tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk maupun keluar, maka Nabi SAW bersabda:
“Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita”
Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah “pintu wanita.”
Kaum wanita pada zaman Nabi SAW juga biasa menghadiri shalat Jum’at, sehingga salah seorang di antara mereka ada yang hafal surat “Qaf.” Hal ini karena seringnya mereka mendengar dari lisan Rasulullah SAW ketika berkhutbah Jum’at.
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
“Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis.”
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
“Rasulullah SAW menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu Athiyah) bertanya, ‘Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab.’ Beliau menjawab, ‘Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'”1
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi SAW yang telah dimatikan orang, seperti sunnah i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi SAW Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah RA pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadhah, dan sebagainya.
Tidak hanya sampai di situ hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasulullah SAW. Mereka juga meminta kepada Rasulullah SAW agar menyediakan hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu denganmu.” Lalu Rasulullah SAW menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan perintah-perintah kepada mereka.2
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, di samping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
“Saya turut berperang bersama Rasulullah SAW sebanyak tujuh kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.”3
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
“Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi.”4
Aisyah RA yang waktu itu sedang berusia belasan tahun menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit, mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab dalam perang Uhud, sehingga Nabi SAW bersabda mengenai dia, “Sungguh kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan.”
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, “Wahai Rasulullah, ini Ummu Sulaim membawa badik.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Ummu Sulaim, “Untuk apa badik ini? Ia menjawab, “Saya mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini.” Kemudian Rasulullah SAW tertawa.5
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri di dalam Shahih-nya mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi SAW untuk turut perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan risalah Islam.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW tidur siang di sisi Ummu Haram binti Mulhan – bibi Anas – kemudian beliau bangun seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, “Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ada beberapa orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja naik kendaraan.” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk di antara mereka.” Lalu Rasulullah SAW mendoakannya.6
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris. Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang) di sana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta berdakwah: menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar…” (at-Taubah: 71)
Di antara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya berkata, “Benar wanita itu, dan Umar keliru.” Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat an-Nisa’, dan beliau berkata, “Isnadnya bagus.” Pada masa pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
Orang yang mau merenungkan Al-Qur’an dan hadits tentang wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara laki-laki dengan perempuan.
Kita dapati Musa – ketika masih muda dan gagah perkasa – bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya, salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur’an:
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumi (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu?)’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumi (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata, ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.'” (Al-Qashash: 23-26)
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
“… Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”(Ali Imran: 37)
Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
“Berkata dia (Bilqis), ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis-(ku).’ Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (An-Naml 32-34)
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
“Dan ketika Bilqis datang, ditanyakanlah kepadanya, ‘Serupa inikah singgasanamu?’ Dia menjawab, ‘Seakan akan singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan kepadanya, ‘Masuk1ah ke dalam istana.’ Maka tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman, ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca. ‘Berkata1ah Bilqis, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.'”(An-Naml: 42-44)
Kita tidak boleh mengatakan “bahwa syariat (dalam kisah di atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya.” Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan yang benar mengenai masalah ini ialah “bahwa syariat orang sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak menghapusnya.”
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …” (al-An’am: 90)
Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya terkurung di dalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari rumah oleh Al-Qur’an – pada salah satu tahap di antara tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal itu – ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi jalan lain kepadanya.” (An-Nisa’: 15)
Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara’ sebagai hak Allah Ta’ala. Hukuman tersebut berupa hukuman dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur’an, dan hukum rajam bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin) sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur’an dan Islam akan menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia tidak berbuat dosa.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas di antara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar’iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara’, yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (an-Nur: 31)
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:
“… Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (al-Ahzab: 59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah:
“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (An-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan …” (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:
“(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits shahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, ‘Karena yang ketiga adalah setan.’
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
“Jangan kamu masuk ke tempat wanita.” Mereka (sahabat) bertanya, “Bagaimana dengan ipar wanita.” Beliau menjawab, “Ipar wanita itu membahayakan.” (HR Bukhari)
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.
(hdn)
Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer
—
Catatan kaki:
Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling bertentangan dan menzhalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan wanita Barat “sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta” sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi, sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit, dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari sinilah lahir “solidaritas” baru yang lebih dipopulerkan dengan istilah “solidaritas lubang biawak.”
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama, pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat, terutama jika semua ikatan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terlepas.
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap alam semesta, kehidupan, Tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui tatanan suatu masyarakat lain.
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.
Bagaimanapun, pandangan-pandangan di atas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur’anul Karim dan petunjuk Nabi SAW serta sikap dan pandangan para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.
Ingin saya katakan di sini bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan dalam “Kamus Islam.” Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqa’ (perjumpaan), muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan) laki-laki dengan perempuan.
Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya, atau lainnya.
Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi Muhammad SAW, petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin.
Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah SAW, kaum wanita biasa menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jum’at. Beliau SAW menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris) belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum mengenal celana.
Pada zaman Rasulullah SAW (jarak tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk maupun keluar, maka Nabi SAW bersabda:
“Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita”
Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah “pintu wanita.”
Kaum wanita pada zaman Nabi SAW juga biasa menghadiri shalat Jum’at, sehingga salah seorang di antara mereka ada yang hafal surat “Qaf.” Hal ini karena seringnya mereka mendengar dari lisan Rasulullah SAW ketika berkhutbah Jum’at.
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
“Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis.”
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
“Rasulullah SAW menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu Athiyah) bertanya, ‘Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab.’ Beliau menjawab, ‘Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'”1
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi SAW yang telah dimatikan orang, seperti sunnah i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi SAW Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah RA pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadhah, dan sebagainya.
Tidak hanya sampai di situ hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasulullah SAW. Mereka juga meminta kepada Rasulullah SAW agar menyediakan hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu denganmu.” Lalu Rasulullah SAW menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan perintah-perintah kepada mereka.2
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, di samping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
“Saya turut berperang bersama Rasulullah SAW sebanyak tujuh kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.”3
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
“Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi.”4
Aisyah RA yang waktu itu sedang berusia belasan tahun menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit, mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab dalam perang Uhud, sehingga Nabi SAW bersabda mengenai dia, “Sungguh kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan.”
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, “Wahai Rasulullah, ini Ummu Sulaim membawa badik.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Ummu Sulaim, “Untuk apa badik ini? Ia menjawab, “Saya mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini.” Kemudian Rasulullah SAW tertawa.5
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri di dalam Shahih-nya mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi SAW untuk turut perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan risalah Islam.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW tidur siang di sisi Ummu Haram binti Mulhan – bibi Anas – kemudian beliau bangun seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, “Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ada beberapa orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja naik kendaraan.” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk di antara mereka.” Lalu Rasulullah SAW mendoakannya.6
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris. Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang) di sana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta berdakwah: menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar…” (at-Taubah: 71)
Di antara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya berkata, “Benar wanita itu, dan Umar keliru.” Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat an-Nisa’, dan beliau berkata, “Isnadnya bagus.” Pada masa pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
Orang yang mau merenungkan Al-Qur’an dan hadits tentang wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara laki-laki dengan perempuan.
Kita dapati Musa – ketika masih muda dan gagah perkasa – bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya, salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur’an:
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumi (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu?)’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumi (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata, ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.'” (Al-Qashash: 23-26)
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
“… Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”(Ali Imran: 37)
Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
“Berkata dia (Bilqis), ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis-(ku).’ Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (An-Naml 32-34)
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
“Dan ketika Bilqis datang, ditanyakanlah kepadanya, ‘Serupa inikah singgasanamu?’ Dia menjawab, ‘Seakan akan singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan kepadanya, ‘Masuk1ah ke dalam istana.’ Maka tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman, ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca. ‘Berkata1ah Bilqis, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.'”(An-Naml: 42-44)
Kita tidak boleh mengatakan “bahwa syariat (dalam kisah di atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya.” Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan yang benar mengenai masalah ini ialah “bahwa syariat orang sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak menghapusnya.”
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …” (al-An’am: 90)
Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya terkurung di dalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari rumah oleh Al-Qur’an – pada salah satu tahap di antara tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal itu – ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi jalan lain kepadanya.” (An-Nisa’: 15)
Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara’ sebagai hak Allah Ta’ala. Hukuman tersebut berupa hukuman dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur’an, dan hukum rajam bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin) sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur’an dan Islam akan menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia tidak berbuat dosa.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas di antara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar’iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara’, yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (an-Nur: 31)
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:
“… Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (al-Ahzab: 59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah:
“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (An-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan …” (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:
“(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits shahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, ‘Karena yang ketiga adalah setan.’
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
“Jangan kamu masuk ke tempat wanita.” Mereka (sahabat) bertanya, “Bagaimana dengan ipar wanita.” Beliau menjawab, “Ipar wanita itu membahayakan.” (HR Bukhari)
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.
(hdn)
Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer
—
Catatan kaki:
- Shahih Muslim, “Kitab Shalatul Idain,” hadits nomor 823.
- Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab al-Ilm.”
- Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
- Shahih Muslim, nomor 1811.
- Shahih Muslim, nomor 1809.
- Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
- Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits di atas. (penj.).
- Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian. Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat seperti itu. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak- lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur. Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya. Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya (Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/05/21467/hukum-pergaulan-laki-laki-dengan-perempuan/#ixzz3qyxr3pdr
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar